Sabtu, 12 Januari 2013

Perbedaan Sunni dan Syiah

Yang saya ketahui, perbedaan Sunni dan Syiah hanya soal jalur hadis semata. Kaum Muslim Syiah (Mazhab Ahlulbait) meyakini hanya sunnah dan hadis Nabi yang berasal dari keluarga Nabi dan sahabat tepercaya yang layak dijadikan pedoman. Mazhab Ahlulbait selektif dalam menerima dan meriwayatkan hadis.  Tidak semua sahabat Nabi dianggap saleh dan adil. Karena itu, riwayat-riwayatnya tidak sembarang diterima. Meski memang tidak dipungkiri dalam sejumlah kitab hadis masih ada yang harus dikaji secara kritis.
Sementara Sunni tidak membatasinya. Riwayat dari para sahabat dan istri-istri Nabi serta orang-orang yang baru memeluk Islam setelah penaklukkan Makkah atau menjelang wafat Nabi pun diakuinya. Bahkan, hadis yang berasal dari orang-orang yang pernah menjadi musuh Islam dan memerangi keluarga Nabi setelah wafat Rasulullah saw pun diambil sebagai rujukan.
Mazhab Ahlulbait (Syiah) menentukan pemimpin berdasarkan nash dan para ulama hanya merujuk kepada Imam Ahlulbait. Memang soal menentukan Imam yang kelima terjadi perbedaan di antara pengikut Syiah. Ada yang menyatakan bahwa yang berhak melanjutkan adalah Imam Zaid bin Ali bin Husain bin Ali; yang kemudian melahirkan Syiah Zaidiyah. Ada juga yang menyatakan (sesuai hadis) bahwa Imam Muhammad Baqir (saudara Imam Zaid) bin Ali bin Husain bin Ali; yang melahirkan Syiah Imamiyah.
Kemudian dalam penentuan Imam ketujuh juga terjadi beda pendapat. Ada yang menyatakan putra Imam Jafar Ash-Shadiq yang bernama Imam Ismail yang berhak menjadi Imam; yang kemudian melahirkan melahirkan Syiah Ismailiyah. Sementara kalangan pengikut Syiah Imamiyah meyakini bahwa yang berhak memegang otoritas imamah setelah Imam Jafar Shadiq (Imam ke-6) adalah Imam Musa Al-Kazhim yang dilanjutkan keturunannya sampai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang secara seluruhnya berjumlah 12 Imam).
Meski berbeda, dalam ushuluddin (dasar-dasar agama) ketiga firqah Syiah sama dan tidak mengakibatkan perpecahan yang mengakibatkan noda hitam sejarah malah memunculkan khazanah intelektual yang beragam dan dinamis.
Dalam urusan fikih, mazhab Syiah mengambil sumbernya–selain Quran dan hadis Rasulullah wa ‘A’immah Ahlulbait–adalah berasal dari Imam Jafar Shadiq (guru dari para imam mazhab fikih mazhab Sunni yang empat). Kemudian setelah ghaib Imam ke-12, urusan fikih merujuk dari ulama (mujtahid) yang  disebut marja taqlid. Tidak sembarang ulama boleh menjadi marja. Ada standar keilmuan yang sudah ditentukan berdasarkan hadis atau riwayat dari para Imam Syiah Imamiyah. Marja adalah seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat marja’iyyah: mujtahid, adil, wara’ dalam agama Allah, tidak rakus dengan dunia kedudukan dan harta. Dalam hadis disebutkan, “Barangsiapa di antara para fuqaha (mujtahid) terdapat seorang faqih yang mengawasi dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati perintah Allah, maka orang-orang awam wajib mentaqlidinya” (kitab Tahrir al-Washilah, hal.3 jil.I).
Di antara mazhab-mazhab yang ada dalam Islam, perpecahan yang lebih tampak dan menjadi masalah di umat Islam adalah terdapat pada  Ahlussunah. Dalam mazhab ini lahir beberapa aliran teologi seperti Khawarij, Mutazilah, Maturidiyah, Jabariyah, Qadariyah, Asyariah, dan Wahabiyah. Bahkan di antara para tokohnya tidak jarang saling menyerang dan menyalahkan, bahkan ada yang menganggap yang tidak sepaham dengannya disebut murtad atau kafir.
Juga dalam fikih Sunni terdapat fikih Hanafiyah, Hanbaliyah, Malikiyah, Syafiiyah, Taimiyah, Baziyah, Baniyah, dan Qardhawiyah. Kemudian pada hadis yang disusun para ulama Sunni terdapat perbedaan dalam menentukan otentik atau shahih tidaknya sebuah riwayat.
Dalam politik Sunni tidak memiliki kejelasan dalam menentukan seorang pemimpin: syura (dipraktikan saat mengangkat Abu Bakar), wasiat (saat mengangkat Umar bin Khaththab), sidang terbatas dewan formatur (saat memilih Utsman bin Affan), aklamasi (saat memilih Ali bin Abi Thalib), tahkim (saat mengangkat Muawiyah), dan turun temurun atau monarki (Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Umayyah Spanyol, Usmaniyah, dan lainnya).
Demikian perbedaan Sunni dan Syiah. Kalau melihat sejarah akan kaget bahwa perpecahan umat Islam hingga sekarang lebih karena alasan politik ketimbang pemahaman agama. Sejarah menorehkan tinta berkaitan dengan aliran dan kelompok yang lahir, baik itu akidah (teologi), filsafat, fikih, tarekat (sufi), tafsir, dan lainnya.
Bahkan, pada masa modern ini partai politik yang mengaku berazas Islam banyak bermunculan di Indonesia maupun negeri-negeri yang dihuni umat Islam. Di Indonesia muncul Syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Darul Islam, Al-Irsyad, Persatuan Umat Islam, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Ahlul Bait Indonesia (ABI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan lainnya.
Kalau dikaji secara jeli akan terlihat perbedaan di antara ormas tersebut. Bisa jadi dalam rujukan pelaksanaan ibadah pun berbeda. NU dan Muhammadiyah mengaku bermazhab Ahlussunnah, tetapi keduanya berbeda dalam pemahaman akidah dan pelaksanaan syariah serta pandangan politik. Namun dari keduanya, ada yang sama bahwa Allah sebagai Tuhan dan Muhammad saw sebagai Rasul Allah yang terakhir serta mengaku berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah.
Umat Islam sekarang ini tidak perlu lagi mengorek perbedaan di antara umat Islam. Biarlah perbedaan mazhab dan benar tidaknya menjadi khazanah yang dikaji dalam lingkungan akademis dengan tinjauan ilmiah. Sekarang ini yang perlu dilakukan umat Islam adalah mewujudkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama umat Islam. Melek politik dan ekonomi global sangat penting untuk dijadikan sebagai agenda program pencerdasan dan pencerahan umat Islam kontemporer. Kalau tidak paham dengan fenomena global dan masalah yang terjadi maka umat Islam tidak akan menyadari jika dirinya sedang terancam.

0 komentar:

Posting Komentar